Akad dan Kontrak Gadai (RAHN)
Oleh : Zumrotun Nazia (Mahasiswa Ekonomi Syariah UMM 2014)
1. Pengertian Rahn
Rahn menurut bahasa berarti al-tsubut al habs yang berarti penetapan dan penahanan.
Adapun secara terminilogi rahn adalah akad yang menahan objeknya dalam arti harga
terhadap sesuatu hak yang mungkin di peroleh dengan sempurna dari objek tersebut. Dari
pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa rahn/gadai adalah menjadikan
suatu benda berharga dalam pandangan syariah sebagai jaminan atas utang selama ada dua
kemungkinan untuk mengembalikan uang itu atau mengembalikan sebagaian barang / objek
itu.
Dasar Hukum Rahn menurut Al-quran dan hadist yaitu :
Al-Qur’an “dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang di pegang. Tetapi jika sebagian kamu
mempercaya isebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya
(utangnya) dan hendaklah ia bertakwah kepada Allah, Tuhanya. Dan jangan lah kamu
menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh hatinya
kotor……(Qs; 2 : 283)
Hadist“dari Aisyah bahwa Rasul SAW “ perna membelikan dengan mengadaikan baju
besi sebgai jaminan.”(HR. Bukharidan Muslim)
A. RukunRahn
Gadai atau peminjaman dengan jaminan sebagai pengikat memiliki beberapa rukun yaitu
:Akad ijab Kabul, contoh “ aku gadaikan hp ini dengan harga Rp.100.000-
1
atau dengan
surat menyurat
2
a. Aqid,yaitu penggadai dan murtahin yakni penerima gadaian. Adapun syarat bagi yang
berakad adalah ahli tashuruf, yaitu memahami mekanisme dalam pegadaian.
1
Hendi,suhendiFiqhMuamalahhlm 105 ,106
2
Hendi,suhendiFiqhMuamalahhlm 107
b. Barang yang di jadikan jaminan (barg), syatat pada benda yang dijadikan jaminan ialah
keadaan barang itu tidak rusak, sehingga tidak menimbulkan kesalah pahaman.
Rasulbersabda : “ setiap barang yang boleh diperjulbelikan boleh dijadikan barang
gadai” menurut Ahmad bin hijazi bahwa yang dapat dijadikan jaminan dalam masalah
gadai tiga macam, yaitu : kesaksian, barang gadai dan barang tanggungan.
c. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
Syarat rahn :
a) Aqid kedua orang yang akad harus memenuhi kriteria al-ahliya yaitu orang yang
telah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak di syaratkan harus
balig. Dengan demikian anak kecilnya yang sudah mumayiz dan orang yang bodoh
berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melalukan rahn.
b) Shighat, ulama hanafi berpendapat bahwa sighat rahn tidak boleh memakai syarat
atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini dikarenakan sebeb rahn jual beli, jika memakai
syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
c) murhubih (utang), yakni haq yang di berikan ketika melaksanakan rahn. Dengan
syarat berupautang yang tetap dan dapat di manfaatkan, utang harus lazim pada waktu
akad.
d) Utang harus jelas dan diketahui rahin dan murtahin.
2. Pengambilan manfaat barang Gadai
Para ulama sepakat menyatakan bahwasanya biaya yang dibutuhkan untuk
pemelihaan barang gadai tersebut menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu debitur. Hal
ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang menyatakan : “pemilik gadai berhak atas
segala hasil barang gadai dania juga bertanggungjawab atas segala biaya barang gadai
tersebut. (HR. Asy-syafi’Idan ad-daruqutni).
Ulama fiqh juga sepakat bahwa barang yang dijadikan gadai itu tidak boleh di
biarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali karena tindakan tersebut termasuk
tindakan menyianyiakan harta yang dilarang Rasulullah SAW (HR.attirmizi). akan tetapi
boleh kah pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan tersebut, sekalipun
mendapati izin dari pemilik barang jaminan? Dalam persoalan ini terjadi perbedaan
pendapat ulama.
3
Jumhur fuqaha berpendapat :murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang
yang sudah digadaikan meskipun sudah mendapat izin dari pemilik barang gadai, karena
hal ini merupakan untung yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan
termasuk riba. SabdaRasulullahSAW :“setiap utang yang menarik manfaat adalah
termasuk riba “ (riwayatharist bin AbiUsamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan Al-Hasan, jika barang gadaian berupa
kendaraan yang dapat dipergunakan atau hewan ternak yang dapat di ambil manfaatnya,
maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut sesuai
biaya pemeliharaan yang sudah dikeluarkan selama kendaraan/hewan itu ada padanya
.Rasul bersabda : “ Binatang tunggangan boleh di tunggangi karena pembiayaannya
apabila di gadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena
pembiayaannya bila di gadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib
memberikan biaya”.
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai diatas telah ditekan kan pada biaya
atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai
seperti diatas punya kewajiban tambahan?Pemegang barang gadai berkewajiban
memberikan makanan bila pemegang barang gadaian berupa hewan harus memberikan
bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang dibolehkan disini
adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
3. Resiko kerusakan barang
Bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin maka mutahin ti dak
berkewajiban menggantinya, kecuali bila rusak atau hilang karena kelalaian murtahin
atau karena disia-siakan, misalnya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar
barang gadaian itu, atau gudang tidak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang.
3
Hendi,suhendiFiqhMuamalahhlm 108
Intinya murtahin harus memelihara sebagaimana mestinya.bila tidak demikian ketika ada
cacat atau kerusakan apalagi hilang,maka akan menjadi tanggung jawab murtahin.
4
Menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung resiko
kerusakan marhun atau kehilangan marhun,bila marhun itu rusak atau hilang, baik
Karena kelalaian(disia-siakan) maupun tidak. Demikian pendapat Ahmaad Azhar Bashir.
Perbedaan dua pendapat tersebut adalah menurut Hanafi murtahin harus
menanggung resiko kerusakan atau kehilangan yang dipegangnya, baik marhun hilang
karena disia-siakan maupun hilang dengan sendirinya.Sedangkan menurut Syafi’iyah
murtahin menanggung resiko kehilangan atau kerusakan marhun bila marhun iturusak
atau hilang karena disia-siakan murtahin.
5
Adapun resiko yang mungkin terdapat pada arah apabila penerapan sebagai
produk adalah sebagai berikut :
1. Resiko tak terbayarkan hutang nasabah (wanprestasi)
2. Resiko penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak
4
Hendi,suhendiFiqhMuamalah hlm109
5
http://blogmuamalah.wordpress.com/2010/09/23/bab-12-rahn-gadai/
4. Riba dan gadai
Perjanjian pada gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja dalam
gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa
rahin Harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya atau ketika akad
gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah ditentukan,
kemudian rahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada
rahin, maka disini juga telah berlaku riba.
6
Daftar Pustaka
Suhendi, hendi 2011. Fiqh Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Rivai, Veithzal 2009. Islamic Economics, Jakarta: Bumi Aksara
http://blogmuamalah.wordpress.com/2010/09/23/bab-12-rahn-gadai/
6
Hendi suhendi,fiqh muamalah, hlm 111
Komentar
Posting Komentar